Soucan Beach - Karya: Ira Uly Wijaya
Daftar Isi
Karya: Ira Uly Wijaya
Pantai Soucan adalah tempat angker. Banyak orang yang sudah ditemukan tewas di sana. Beberapa diantaranya adalah perempuan yang bernama Xiamay sepupu Shinwey, laki-laki tua penjaga pantai bernama Fuldos ayah dari Yoan, anak laki-laki bernama Safar teman dari Owni, dan lima lainnya adalah wanita dari lingkungan Kejora yang berwisata ke lingkungan Cisadanai.
Shinwey adalah kakak dari Owni. Orang tua mereka sudah cerai. Sehingga mereka tinggal bertiga dengan ibunya bernama Arda. Namun, bu Arda sudah beberapa tahun meninggalkan mereka untuk mencari nafkah di Malaysia sebagai TKW. Hal itulah membuat Shinwey menjadi wanita yang mandiri. Ia bekerja sebagai guru bahasa Inggris di SMP Fathiah di Cisadanai.
Dirinya sudah berusia 24 tahun. Kulitnya putih, matanya sipit, hidungnya mancung, dengan wajah bulat. Kecantikannya seperti ibunya. Tinggi dan berat badannya ideal. Sejauh ini Shinwey tidak memiliki pendamping hidup. Ia sering berangan untuk bertemu dengan pria yang sholeh dan tampan seperti orang cina. Tapi itu tak mungkin baginya karena menurutnya prioritasnya saat ini adalah membahagiakan ibu dan adiknya.
***
Gerombolan suara gagak terdengar di lingkungan Cisadanai. Sesekali kelelawar berlalu lalang menerobos pepohonan yang tak jauh dari pantai Soucan. Shinwey yang lagi asyik berbaring di pasir pantai tak menyadari bencana besar akan terjadi. Reni melepas kaca mata hitamnya dan berlari mendekati gua. Udara tak lagi bersahabat pagi itu. Awan-awan seakan terbelah. Langit mulai mengeluarkan rintik hujan. Pantai Soucan pun mulai terlihat berkabut.
Beberapa orang di pantai Soucan menyaksikan pemandangan yang mengerikan itu. Salah seorang pria berkulit hitam tanpa baju dengan celana pendek yang ia kenakan berwarna biru bermotif pohon kelapa meneriaki semua orang untuk meninggalkan lokasi itu. Ia berteriak sambil berlari menepuki pundak orang-orang di sekelilingnya.
“Pergilah dari sini. Pantai ini akan dikunjungi oleh mereka.Cepat-cepat!”
Kelima wanita yang memakai baju renang terheran. Mereka tak memahami maksud laki-laki itu. Laki-laki ABG itu menyusuri semua pantai hingga ia terjatuh. Ia tak peduli dengan dirinya yang kewalahan memperingatkan pengunjung di pantai Soucan. Ia takut tak bisa menyelamatkan mereka. Laki-laki itu terdiam sejengkal dari air gelombang di pantai. Ia memerhatikan air pantai yang mulai berwarna hitam. Seluruh tubuhnya terguncang.
“Pluk…” bunyi bola yang terlempar di belakangnya.
“Eh, dek sini. Kemarilah!”
Anak itu menghampirinya dan mengambil bolanya. Anak itu bertanya “Kenapa bang?”
“Mana orang tuamu?”
“Aku tidak bersama orang tuaku”.
“Jadi kamu ke sini sama siapa?”
Anak itu menunjuk ke arah Shinwey. Lalu berlari meninggalkannya.
“Hei, dek. Cepat pergilah dari sini!”
Pria itu berlari menuju pos satpam untuk memberikan pengumuman penting. Langit semakin lama semakin menunjukkan warna merah. Petir pun menyambar dengan sangat keras. Orang-orang belarian. Mereka bergegas meninggalkan pantai Soucan. Saat si pria itu sampai ke pos satpam, ia mengambil toak.
“Halo, semuanya. Tolong dengarkan aku! Aku adalah anak dari bapak Fuldos. Iya kalian pasti tahu itu”.
Belum selesai pria itu berbicara, pantai itu sudah terlihat gelap. Tiada satu pun yang terlihat. Kegelapan menyelubungi pantai itu. Teriakan terdengar dimana-mana. Tangisan ketakutan beriringan dengan suara burung gagak yang suram. Begitu menakutkan hingga pria itu tak sempat menyelesaikan pemberitahuannya. Ia mencari-cari senter di pos itu. Ponselnya terus bordering. Ia tak menghiraukannya. Cepat-cepat ia berlari menuju pantai setelah mendapatkan senter yang terletak di meja satpam tadi.
“Reni, Owni. Kalian dimana?” tanya Shinwey dengan suara pelan.
Senter hp-nya tak begitu terang. Ia tetap duduk di pasir pantai sambil mencoba menghubungi Reni. Air di pantai terdengar seperti ada orang yang berenang. Suara orang berenang itu membuat Shinwey panik. Ia berdiri memerhatikan di sekeliling pantai.
“Reni, kaukah itu?” ujar Shinwey menenangkan pikiran.
“Owni?” sambungnya lagi dengan suara gemetar.
“Siapa di sana?” ujarnya menelan air liurnya.
Shinwey memegang kedua lengannya. Ia merinding. Keringat di keningnya bercucuran. Ia berjalan mendekati gelombang air di pantai. Tak seorang pun ia jumpai di sana. Ia merasa seperti bermimpi. Ditatapnya langit yang berubah menjadi hitam.
“Tidak-tidak, aku mungkin bermimpi. Kenapa langit terpecah-pecah begitu? Tidak-tidak.
Saat matanya kembali menatap ombak. Ia terpaku. Mematung tak berkedip sedikitpun.
Segerombolan pria muda dengan baju dan celana putih mendekatinya. Pria muda itu berjumlah lima orang. Kelima-limanya memakai mahkota besi. Matanya berwarna merah. Kulitnya putih pucat, baju putih kemeja panjang yang mereka gunakan begitu usang. Seperti baju zaman kuno, kukunya panjang-panjang, rambut mereka berwana putih. Kaki mereka tidak menyentuh tanah. Mereka berjalan seperti angin. Shinwey tak lagi panik. Ia begitu santai menunggu kelima pria itu mendekatinya.
Kelima pria itu menatap Shinwey dengan wajah heran. Mereka berdiri jelas di hadapan Shinwey. Kebisuan diantara mereka terjadi sangat lama. Beberapa saat kemudian Shinwey mulai berbicara pada mereka dengan suaranya yang lembut.
“Apakah kalian nyata?” Ia tertawa manja melihat ketampanan semua pria dihadapanya.
“Aku baru pertama kali melihat keajaiban ini. Tadinya aku sangat takut. Ini coba kalian lihat hp ku yang hambir mati. Dari tadi aku menyalakan senter. Tapi sepertinya ini tidak diperlukan lagi. Kalian semua membawa cahaya untuk pantai ini. Tadi, ini semua sangat gelap lho”.
Kelima pria itu tetap diam. Tak seorang pun dari mereka yang berbicara. Shinwey terus saja berbicara pada mereka. Lalu dari belakang kelima pria itu mendadak muncul seorang pria yang mengerikan. Sekujur tubuhnya tertutup jubah. Shinwey hanya bisa melihat jubahnya saja. Mulut Shinwey terbuka lebar. Kakinya perlahan mundur ke belakang. Tiga langkah Shinwey menjauh dari makhluk halus itu ia langsung pingsan.
***
Tiga Hari kemudian
Yoan berkunjung pagi-pagi sekali ke rumah Kepling. Ia ingin semua orang harus menjauhi pantai itu. Jika tidak bisa ditutup setidaknya warga Cisadanai harus berhati-hati. Di perjalanan menuju rumah Kepling, ia melihat Reni dan Owni yang sedang berbelok menuju pantai Soucan. Ia tidak melarang mereka ke sana..
“Paling, mereka mencari Shinwey. Wanita malang itu. Dia udah jelas meninggal,” gumamnya dengan wajah gundah.
“Owni. Kamu ingatkan, saat terakhir kakakmu berjemur di mana? Kali saja kita menemukan petunjuk”.
“Petunjuk apa kak?”
Reni tak menjawab Owni. Ia berharap temannya itu dapat kembali sadar setelah koma selama tiga hari di rumah sakit. Kali ini ia akan bersungguh-sungguh. Di mimpinya semalam ia melihat Shinwey berdiri di pantai. Setelah Shinwey menoleh ke arahnya, ia melihat wajah Shinwey pucat seolah ketakutan. Itu pertanda bahwa Shinwey melihat sesuatu yang mengerikan.
“Ayo kita ke arah dekat gua Owni”.
“Tidak kak. Aku takut kak. Di gua itu ada hantu. Dia terbang mengeliliku. Terus temanku Safar dia udah dimakannya kak”.
“Owni. Kamu jangan takut. Peristiwa itu gak akan terulang lagi. Kakak bersamamu,” ujar Reni memeluk Owni seraya menenangkannya.
“Permisi, ujar Yoan sambil mengetuk pintu rumah Kepling.
“Iya. Masuk. Pintunya gak dikunci,” ujar Bu Wardah.
“Pagi Bu. Apakah saya boleh bertemu dengan pak Kepling?”
“Nak Yoan, bapak tidak di rumah. Ada apa ya nak Yoan?”
Yoan menjelaskan semua yang terjadi. Ia mengatakan banyak korban dalam beberapa bulan ini terjadi. Ia tak sanggup untuk menjaga orang-orang yang berada di sana. Korbannya sebagian ada yang tidak ditemukan jasadnya dan beberapanya lagi seperti mayat hidup. Bu Wardah terlihat takut. Beberapa menit kemudian terdengar dari luar teriakan dari sepuluh orang bapak-bapak dan enam orang ibu-ibu memanggil bapak Kepling. Mereka semua kehilangan anak-anaknya. Kejadian itu semakin membuat bu Wardah khawatir. Ia menenangkan semua orang yang datang ke rumahnya. Meski ketakutannya semakin memuncak.
“Kak, coba lihat pantainya kak? Terlihat seperti…”ujar Owni.
“Ayo-ayo kita pergi dari sini. Kakak takut makluk aneh itu muncul lagi,” ujar Reni memandang langit.
Reni dan Owni bergegas meninggalkan pantai Soucan. Mereka tak menyadari bahwa di tempat mereka berdiri itu, ada pria dari salah satu yang di lihat oleh Shinwey. Ia membuntuti Reni dan Owni dari belakang mereka. Sesampai di rumah sakit Huawangqi Reni berbisik pada Owni. Ia berbisik layaknya anak kecil yang sedang ketakutan. Owni yang masih berumur 9 tahun tak memahami maksud dari Reni. Reni sedikit memberanikan diri dengan menoleh ke belakangnya. Namun, dia tidak menemukan seseorang yang seolah berdiri di belakangnya. Ia kembali berjalan menuju ruang Kenari tempat Shinwey dirawat. Jalannya yang cepat membuatnya sampai menabrak suster.
“Maaf-maaf sus,” ujar Reni dengan memegang lengan suster itu.
Suster itu diam saja. Tapi menatap dengan terheran-heran. Ia melihat di belakang Reni seakan ada seseorang yang mengikutinya. Ia tak melihat dengan jelas orang yang mengikutinya. Suster itu lalu melanjutkan langkahnya menuju kamar pasien di depannya.
“Aduh. Aku gak sanggup lagi ni jalan kak. Kakak jalannya cepat sekali. Kak, kenapa kakak terburu-buru?”
“Owni, tadi kakak sudah membisikkan ke kamukan. Di belakang kakak seperti ada orang”.
“Hantu maksudnya kak?” mata Owni melotot dan mulutnya terbuka lebar.
Reni langsung menarik tangan kanan Owni setelah mendengar kata hantu dari mulutnya. Mereka cepat-cepat masuk ke lift. Reni menekan tombol tiga. Setelah sampai di lantai tiga, Reni masuk ke kamar Shinwey. Ditatapnya wajah Shinwey yang pasi itu tanpa beralih ke benda di sekitarnya.
“Shinwey, kenapa kamu belum sadar juga? Aku takut sekali kalau kamu pergi ninggalin aku. Terus adik kamu Owni siapa yang akan jaga? Shinwey bangunlah!” ujar Reni yang duduk di sebelah kirinya.
“Kak Reni aku lapar”.
“Aduh. kakak lupa. Kita pesan makanan online aja ya Owni. Kakak takut jalan lagi. Nanti hantu itu ngikuti kakak lagi gimana?”
“Tapi aku mau makan makanan pak Herman kak. Di depan rumah kami kak.”
“Jauh banget ke sana dek,” ujar Reni dengan suara lesu.
Reni pun memaksakan diri untuk pergi ke tempat pak Herman setelah bertarung melawan ketakutannya. Ia tidak tega melihat Owni kelaparan. Ditambah lagi kakaknya yang masih kritis. Kasih sayangnya pada Owni tulus seperti adik kandungnya sendiri. Sebelum pergi ke tempat pak Herman, Reni menasehati Owni agar tidak pergi kemana-mana. Owni mendengarkan pesan Reni dengan serius. Kemudian Reni pergi meninggalkan Owni dan Shinwey di ruangan itu.
Sekitar pukul 10.10 wib Reni belum juga kembali. Owni sampai ketiduran menantinya dan tidak menyadari kakaknya menggerakkan jari telunjuknya.
Gulita menyelubungi pantai Soucan. Shinwey duduk manis di pasir pantai ditemani seorang pria yang begitu tampan. Senyuman Shinwey melambangkan kebahagiaan yang tiada habisnya. Pria itu berkata, “Bulan tak selalu mengeluarkan sinarnya. Angin tak kan selalu meyegarkan tuk dinikmati. Malam tanpa bintang bukan sebuah kehampaan. Kamu tersenyum bukan untuk menikmati hidup. Aku bisa melihat kamu penuh dengan teka-teki. Kamu mirip Namhae. Gadis itu adalah kekasihku. Kami mau menikah saat itu. Tapi tidak jadi karena ia sudah meninggal. Teanghe yang membunuhnya. Hantu yang dikenal banyak orang sebagai hantu berjubah. Namhae meninggal tepat di posisi kita duduk saat ini.”
Shinwey menundukkan wajahnya. Ia ikut merasakan kesedihan pria itu. Diperhatikannya kembali pria itu yang berbicara seperti pujangga terkenal. Mata pria itu tersenduh mengarah ke atas langit. Bibirnya gemetar berbicara soal masa lalunya.
“Kegelapan adalah tanda roh kembali ke alam fana meminta kedamaian. Mereka mempermainkan kalian. Manusia adalah makhluk lemah. Suatu kekuatan besar bagi hantu Teanghe jika dapat memakan manusia. Usia mereka semakin abadi. Aku adalah salah satu dari mereka. Namun, aku lari dari kenyataan itu. Itu adalah mimpi buruk bagiku. Beruntung aku di pertemukan dengan keempat hantu yang jarang dikenal manusia. Mereka di sebut sebagai hantu Changfua. Ras Changfua hanya bisa dilihat oleh mereka yang memiliki hati bersih. Kehadiran Changfua terlihat saat warna air di pantai berubah menjadi biru atau hijau. Mereka hidup di air. Sementara Teanghe sulit untuk diketahui keberadaannya. Ia adalah makhluk mengerikan dengan jubahnya seperti pangeran kegelapan yang haus darah.
Tiada yang bisa mengalahkannya selain mutiara yang tersimpan di dada kami atas izin-Nya. Setiap ras Changfua memiliki dua mutiara di dadanya. Itu adalah penambah usia bagi mereka. Jika mereka kehilangan itu maka keturunan mereka akan ikut menghilang. Kamu lihatlah. Jika langit masih mendung, warna air pantai masih indah itu berarti di sini akan muncul ras Changfua. Sebaliknya jika kamu mendengar suara gagak yang mengerikan seakan mati dan suaranya semakin merintih tandanya Teanghe telah melahapnya. Kelelawar pun akan lari untuk menghindarinya. Langit seakan roboh dengan kegelapan menyelubungi pantai ini. Kamu tak akan meninggalkan negeri fana ini Shinwey. Aku akan menjagamu. Sekarang kamu bangunlah. Jalani hidupmu. Aku akan memberimu mutiara itu”.
“Mutiara?” ujar Shinwey heran.
“Iya mana tanganmu? Aku akan memasangkan cincin ini untukmu. Cincin ini tak akan bisa dilihat oleh orang-orang kecuali ada yang berniat buruk denganmu. Ini bukan untuk menambah usia. Tapi akan menyembuhkanmu dari luka. Ini akan menjagamu. Tapi sebaik-baiknya pelindungmu adalah yang menciptakanmu. Jangan pernah putus asa ya Shinwey”.
Pria itu pun sekejap hilang setelah memakaikan cincin di jari tangan Shinwey. Shinwey tersenyum indah. Wajahnya heran melihat pria itu tak ada lagi di depannya. Ia menatap Pantai Soucan yang perlahan berubah menjadi normal kembali. Ditariknya napas panjang menikmati udara segar yang berlalu-lalang di pantai itu.
“Dokter, dokter, tolong periksa teman saya dok!” teriak Reni dari luar ruangan.
Ia begitu panik melihat Shinwey tarik napas. Tanda-tanda itu membuatnya antara senang atau tidak. Ia menarik tangan kedua perawat sambil memanggil dokter. Dokter pun keluar dari ruangannya. Meminta Reni untuk tenang. Kedua perawat dan dokter bergegas memeriksa kesehatan Shinwey. Dokter memeriksa Shinwey dengan sigap. Ia begitu heran. Shinwey tiba-tiba kembali pulih setelah berhari-hari tak sadarkan diri. Ia memeriksa tekanan jantung Shinwey beserta kondisi suhu badannya. Semuanya normal seperti sebuah keajaiban.
Owni tersenyum lebar, menempelkan pipi kirinya di tangan kiri kakaknya yang telah sadarkan diri. Begitu Reni mulai mendekati Shinwey, di saat itu pula Shinwey bertanya kepada mereka tentang penyebab ia berada di rumah sakit. Ia heran menatap ruangan tempat ia dirawat.
“Shinwey, kamu udah tiga hari di rawat di rumah sakit. Dokter mengatakan bahwa kamu kritis”.
“Kritis. Aku baik-baik saja Reni. Oh ya, aku tadi melihat seorang pria”.
“Reni tercengang. Shinwey di sini cuma ada kita bertiga. Kamu pun baru sadar. Bagaimana bisa kamu melihat orang lain? Mungkin kamu maksud yang barusan itu adalah dokter”.
Shinwey tertawa kecil. “Bukan. Ada seorang pria baik. Dia itu tampan seperti pangeran. Aku lupa menanyai namanya. Tapi dia bilang dia berasal dari ras Cangfua.
“Apa? Cangfua? Aku baru dengar tu. Kamu mimpi pasti”.
Shinwey tersenyum. Wajahnya bersinar-sinar. Ia memiringkan badan menoleh ke arah jendela seakan ia mengetahui pria itu ada di hadapannya.
“Kalian tahu gak, apa dia bilang? Aku harus menikmati hidup. Dia juga memberikan cincin yang cantik untukku”.
“Mana cincinnya kak?” ujar Owni.
“Iya mana Shinwey?”
Reni berjalan memeriksa tangan kiri Shinwey. Ia bingung. Ia tak menemui cincin di jari tangan Shinwey. Di saat itu Reni mulai berpikir bahwa temannya itu bisa kembali sadar berkat mimpi indahnya.
“Shinwey kamu bertemu dengannya dimana?”
“Di pantai Soucan. Dia gak akan bisa kembali lagi. Katanya alam kami berbeda”.
“Berarti dia itu hantu,” ujar Reni dengan mata melotot.
“Tidak. Dia berbeda dengan hantu berjubah itu. Dia sangat baik. katanya aku mirip dengan kekasihnya”.
Verlan yang memberikan cincin itu tersenyum mendengar perkataan Shinwey. Ia tak banyak berharap dengan perasaan yang ia miliki saat itu. Menurutnya cinta tak harus memiliki. Shinwey yang sangat mirip dengan Namhae membuatnya terus berada di sisinya. Terlebih mutiara yang ia punya salah satunya ada pada Shinwey. Nyawa mereka seakan bersatu. Laksana jantung dalam ruh Shinwey. Kegetiran itu menyiksa mereka. Verlan pun memutuskan untuk meninggalkan Shinwey. Ia akan pergi setelah Shinwey keluar dari rumah sakit.
Kepala lingkungan Cisadanai kini telah menutup pantai Soucan. Semenjak banyak korban yang ditelan oleh hantu Teanghe. Pantai itu pun jarang dikunjungi orang lagi. Terlebih korbannya banyak menelan anak-anak dan wanita.
Shinwey kini tak lagi berjumpa dengan laki-laki yang ia kagumi itu. Sekarang ini harus menahan pahitnya cinta. Walau sesekali hantu Cangfua yang bernama Verlan itu hadir dihadapannya tetap mereka tak akan pernah bisa bersatu. Sementara bu Arda kini telah kembali dari Malaysia. Ia menangis mendengar anaknya hampir jadi korban dari hantu Teanghe. Penyesalannya itu membuatnya berjanji akan selalu menjaga anak-anaknya. Mereka pun kembali berkumpul tanpa harus saling menahan rindu seperti dulu lagi.
Biodata
Penulis bernama Ira Uly Wijaya. Betempat tinggal di Sibolga, Sumatera Utara. Penulis merupakan alumni dari Universitas Malikussaleh, Aceh Utara dengan jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia. Penulis dapat dihubungi melalui instagram @iraulyws.
Posting Komentar