Pelarian Negeri Diatas Awan - Karya : Muhammad Tunjang Syaeh
Daftar Isi
Pelarian Negeri Diatas Awan
Karya : Muhammad Tunjang Syaeh
“Diantara rerumputan ini ku berlari
Melompati bebatuan dan menyeberangi sungai
Menatap gelapnya langit malam
Semilir angin yang menusuk tulang”
Semua sudah kupersiapkan dengan baik, malam ini aku harus berhasil. Aku sudah tidak bisa bertahan lagi disini, dan akan aku buktikan kesemuanya kalau aku mampu pergi dari sini. Aku hanya perlu menunggu waktu yang sudah ku perhitungkan dengan baik. “langit, bantu aku cepat! Jangan diam saja ko” suara Dimas membuat aku tercekat untuk sesaat.tak menunggu teriakan Dimas yang kedua kali ku sudah berlari kearahnya. Dia adalah sahabat yang baik dan dia juga pintar jadi kalau ada ulangan malamnya kami belajar bersama.
“Apa yang kamu fikirkan langit? Kabur dari sini? Tidak kan? sudahlah langit peristiwa yang kemarin kamu lupakan saja, toh kamu juga salahkan? Buya bilangkan, agar kita harus saling memaafkan”, sambil aku merapikan kamar aku pun harus rela mendengarkan Dimas yang seperti Buya saat dikelas, sungguh membosankan. “Baik dikelas mau pun dikamar selalu mendengarkan ceramah, sakit telingaku ini Dimas”, sambil ku berlalu dari hadapannya.
Hari itu tidak akan pernah aku lupakan, untuk yang kesekian kalinya aku harus merelakan rambutku dibabat habis. Untuk yang kali ini sungguh aku tidak suka, sebentar lagi aku akan membuat KTP. Keributan kali ini sungguh di waktu yang kurang tepat, aku sudah berusaha menghindarinya namun anak itu berhasil membuat ku emosi.
“Langit, menyembunyikan sepatuku dimana? Cepat kembalikan! Mau kamu apa Langit!” suara Bumi membahana di kelas kami yang sudah lengang. Aku hanya menyeringai melihat kemarahan di wajahnya. Tiba-tiba dia mendorong tubuhku hingga aku terjerembab ke bawah kursiku. Tanpa menunggu lagi kami bergumul didalam kelas, keributan yang tidak bisa terhindarkan lagi. Kegaduhan itu membuat beberapa pengurus berlarian kearah kami.
“Langit, kembalikan sepatu milik Bumi sekarang” Pengurus menatapku dengan tajam. Malas aku untuk menjawabnya. Karena memang aku tidak menyembunyikan sepatu milik Bumi dan tidak ada gunanya juga untukku. Kadang aku merasa diperlakukan sangat tidak adil, setiap ada masalah apa pun di kelas, mengapa mereka selalu menyudutkan aku tanpa memberikan kesempatan aku untuk menjelaskan.
Semua sudah terlelap dalam mimpi mereka masing-masing saat kumelangkah keluar dengan perlahan. Ku berhenti sejenak dan mengamati beberapa petugas keamanan yang berjalan menjauh dari gedung. Setelah kurasa keadaan aman, aku berlari kearah saung yang biasa aku gunakan untuk tempat makan siang. Secepat kilat aku merangkak di bawah saung tersebut dan mengganti pakaianku.
Setelah itu aku berlari kearah tembok yang paling jauh dari pos penjaga dan melemparkan kain yang sudah ku persiapkan. Dengan kekuatan penuh aku memanjat tembok tanpa memperdulikan hawa dingin yang begitu menusuk tubuhku. Sudah hampir tiba diatas pagar tiba-tiba pagar tersebut bergoyang dan hampir saja roboh. Hampir saja aku terjatuh, untung saja aku sempat memegang pagar dengan kuat.
Setelah pergulatan dengan pagar selesai aku berlari kearah kegelapan , disambut oleh suara hewan malam yang terasa sangat mencekam, tapi aku tidak punya pilihan lain selain terus melangkah kedepan. Aku ingin pergi menjauh dari tempat yang hanya membuatku kecewa dan terluka. Ku terus melangkah menyusuri jalan setapak yang kanan kiri jalan ditumbuhi rerumputan dan ilalang yang cukup tinggi.
Aku harus memilih jalan kearah kanan jadi para pengawas tidak bisa menemukan aku. Temaram bintang dilangit menerangi langkahku, tujuanku hanya satu, menjauh dari tempat itu. Tiba-tiba ku dengar suara lolongan anjing, dan suara itu kian mendekat... tanpa pikir panjang, aku berlari karena aku mendengar derap lari beberapa ekor anjing dibelakangku. Aku terus berfikir bagaimana caraku menyelamatkan diri dari para anjing liar ini.
Dengan cepat aku naik ke atas pohon yang cukup tinggi ditepi jalan tersebut sampai para kawanan anjing tersebut berlalu. Aku pun kembali melanjutkan perjalananku, aku melewati beberapa jalanan yang rusak akibat longsor beberapa hari yang lalu. Aku sendiri tidak tahu aku berada dimana sekarang, jadi aku memutuskan untuk tidur di gubuk yang ada di tengah pesawahan. Aku baru merasakan kakiku terasa sakit dan nyeri, dan celanaku kotor karena terjerembab di jalan berlumpur tadi. Setelah membersihkan diri aku terlelap diatas dipan bambu tersebut, bermimpi berlari diatas awan putih yang berarak dilangit biru.
Pagi harinya aku dikejutkan oleh senyuman petani tua yang sedang duduk di gubuk ini. “Apa yang sedang kamu lakukan disini nak?” kamu tersesat ya dengan ramah. Ayo sana, wudhu, salat subuh dulu, walau pun kesiangan tidak apa-apa. Walau pun aku masih diliputi rasa bingung, aku tetap mengikuti perintahnya.
“Nah kamu sudah selesai shalat, sini duduk sama kakek dan cerita-cerita, jangan sungkan”. Petani tua tersebut itu kembali tersenyum dengan lembut dan tatapannya yang sangat teduh. “Kamu tahu nak, untuk menghasilkan mutiara yang indah harus melalui rasa sakit yang panjang, harus melalui proses yang tidak mudah. Kakek yakin kamu bisa melewati semuanya, kembalilah ketempat kamu yang semestinya”.
“Selama kamu tidak meninggalkan kewajiban kamu sebagai seorang muslim dan menjauhi apa yang di haramkan oleh Tuhanmu, maka semua akan baik-baik saja, sesekali kecewa itu wajar, merasa tidak diperlakukan dengan tidak adil juga manusiawi, keadilan yang khakiki hanya milik Allah, ketika rasa sakit, kecewa terhadap manusia, kembalikan kepada Sang Pemilik langit dan bumi, janji ya , kakek doakan kamu akan menjadi seorang pemuda yang sukses dunia dan akhirat”, aku hanya mampu mengangguk dan tersenyum.
Samar aku mendengar suara orang orang yang memanggilku, saat aku membuka mata, kulihat para pengurus mengelilingiku dengan tatapan penuh rasa cemas, aku bingung, mengapa ada disini. Bukankah aku tadi ada sebuah saung bersama petani tua tersebut, ya petani tua itu, dimana beliau?
Akhirnya beberapa hari kemudian Dimas bercerita bahwa aku ditemukan di sebuah petilasan tua diatas sebuah buakit oleh seorang pencari kayu bakar. Berita tersebut sampai ketelinga Buya dan para pengurus diperintahkan untuk menjemputku. Ku hanya mampu tertegun mendengar cerita tersebut.
Biarlah pertemuanku dengan petani tua tersebut akan ku simpan sendiri dan tak perlu aku ceritakan kepada siapa pun. Kulihat Buya terenyum penuh makna dari kejauhan. “ Ayo Langit, sudah rebahannya, antri makan yuk sekarang!” Dimas, kau berisik sekali..........
***
Biodata Narasi :
Halo semuanya perkenalkan nama saya Muhammad Tunjang Syaeh, aku seorang pelajar yang tidak melulu tentang keseriusan, umur ku 17 tahun dan aku tinggal di Jalan H. Icang RT 11 / RW 02, Kecamatan Cimanggis, Kelurahan Tugu. Kota Depok
Semoga karya saya ini bisa mengobati rasa luka kalian semuanya, SEMANGAT!❤️
Posting Komentar