FILOSOFI CINTA NARA - Oleh : Akhmad Akhtar

Daftar Isi
FILOSOFI CINTA NARA
Oleh : Akhmad Akhtar 

Bab 1 

Perkenalkan, namanya Nara, dia berumur 14 tahun yang tahun ini dia kelas 8 atau 2 SMP di Daqin, atau Darul Mutaqin. Sekolah swasta islam yang berada di luar kompleks rumahnya. Dia hanya butuh waktu 10 menit dengan sepeda untuk sampai kesana. Walau sudah remaja dan mengalami masa puber, ia adalah pecandu cerita romansa akut. Dia suka membaca buku tentang cinta, novel remaja dengan bumbu cinta. Hanya itu yang dipikir olehnya, di mata pelajaran pun ia tergolong terbawah. Dia masuk ke sekolah ini hanya karena adiknya yang kelas 4 SD yang sudah memahami nilai mutlak, materi matematika SMA. Gila emang, ayah mereka adalah book lovers, beliau dulu adalah seorang bibliotec (bahasa norwegia untuk penjaga perustakaan) sampai kini ia membuka perpustakaan pribadi di rumah keduanya yang dipenuhi oleh buku filsafat dan teori kosmik terciptanya bumi dan alam semesta. 

Walau masih terbilang belia, pada umur 8 tahun dia sudah membaca buku paper town karya John Green, yang menceritakan seorang gadis yang tinggal di sebuah kota kertas dimana setiap orang yang tinggal memiliki sifat seperti kertas, kaku dan tak berwarna. Buku itulah yang menceritakan seorang gadis dengan penyakit ‘akut’ nya tentang dunia kertas berubah ketika bertemu dengan cowok yang mengajarinya tentang cinta dan warna hidup. Nara mengumpulkan kliping-kliping kalimat tentang cinta dari beberapa buku yang pernah di baca, dari kisah epik titanic; cinta yang terhalang strata dan gaya hidup. Romeo juliet yang rela pergi meninggalkan roma dengan ujung cerita mengenaskan kematian kedua karakter romansa itu. Kini dia memasuki SMP yang rumornya sebutan ‘cinta pertama’ akan datang.

Sambil tersenyum sendiri memasuki gerbang sekolah, ia ditatap oleh beberapa murid lain sambil terkikik, mengira Nara gila karena tersenyum tanpa alasan. Sampai ia menabrak tas orang di depannya. Farel, kakak kelas atau Si Kulkas Dingin, kakak kelas yang menghukumnya karena tidak memakai sabuk ketika upacara pembukaan MOS, wajah datar dengan mulut bengis dan ketusnya sudah menjadi adat telinga Nara setiap harinya. 

“Mata lo kemana? Gue segede gini kaga keliatan,” ucapnya tanpa menoleh kearahnya, dasar kulkas berjalan. Siapa yang kasih kaki ke refrigerator ini sih? Setan aja ogah sama dia, apalagi Tuhan. 
Nara membalas dengan mendahlui dan memandangnya dengan tatapan benci, “eh lu tuh tingginya cuma 162 cm, kita beda 7 cm doang jangan belagu kak.” balasnya ketus. Belum menjawab ejekan adik kelas ‘gila’nya Nara berjalan cepat ke arah tangga meninggalkan Farel dengan muka bekunya.
“Stress,” umpatnya sambil bergumam. Ia pergi ke kelasnya dan melihat jadwal piket hari ini. Walau terkesan dingin, sebenarnya dia agak disiplin orangnya. Cuma itu yang disukai oleh temannya.
“Wahyu, lo gak nyapu kelas?” teriaknya sambil mencari sosok berambut ikal yang sedang mencari sesuatu. “nih, permen karet lu bekas lidah gue, mau kagak?” tawarnya ke Eca, cewek tinggi yang bermimpi jadi TNI wanita itu menatapnya jijik lalu melangkah menjauh dari si Ikal. 
“Gila, eca jual mahal bet. Awas kemahalan ntar jadi barang antik loh,” sahut Wahyu yang terbalas dengan jari tengah mengarah kearahnya diiringi suara siulan dan kata “cie” dari teman sekelas. Dibuat pusing oleh teman sarapnya sendiri. Great day. Batin Farel.


Baru 5 menit sejak bel istirahat berbunyi, Farel yang ingin menggoda Eca direcoki oleh Farel yang menjambak rambut ikalnya yang sudah tebal itu ke arah kantin sekolah yang mulai dipadati oleh kerumunan seragam batik. 
“Ah, ganggu aja kamu, padahal bisa aja Eca nerima gue tadi,” decak kesalnya sambil menoyor kepala si Kulkas. “Kalo lo diterima, mungkin Eca dah kau santet kali. Ya kali, dia setinggi itu mau pacaran sama gembel kelas, lo kalau mau nyium dia juga susah, palingan yang lo cium keteknya doang.” ejek Farel sambil menahan tawa atas lawakannya sendiri. 
“Bangke lu sama temen sendiri gitu banget, Nara tuh kejar, makin gila aja tuh anak pakai nyeramahin guru agama soal cinta nabi.” bicaranya sambil menatap grup kelas yang ramai karena video Nara yang bercerita tentang nabi dan istri-istrinya. 

Farel dengan es Taro-nya keluar dari kantin, melihat cewek bar-bar di kursi dekat pohon beringin tua sekolah, mengeluarkan buku bersampul merah polos dengan orang gila. 
“Oi, ngapain lu kaga jelas bet jadi cewek, yang feminim gitu kek kayak cerita-cerita lo.” kejutnya dari belakang. Hening. Gila nih cewek satu. 
“Oh, kas. Ngapain lu, kakak bisa haus juga rupanya, kukira cuma butuh colokan doang biar makin dingin.” sindirnya sambil menjulurkan lidah tak suka. 
“lo ngapain?” tanya sekali lagi, dia mencoba mengintip buku Nara, berujung kena timpuk. “lo kok ngelanggar privasi cewek sih, ganjen amat jadi cowok, kaga usah sok ganteng lu pendek!” rasa kesal tak tertahankan dari kedua belah pihak. Nara hendak pergi , tetapi tangan kirinya tertarik dengan cepat. 
“Lo, punya masalah sama gue? Kek benci bet.” Nara kembali mendecak, menghempaskan genggaman kakelnya dan mengacungkan jari manis nya. 
“Banget!” melempar tatapan benci. 

“liat nih, ada yang baru ditolak sama cewek ‘gila’” suara celoteh Wahyu memecah keheningan kantin. Dia menoyor kepala mie itu keras dan mencengkram lehernya. “Lo, kalau sampai bocor di kelas gue patahin tangan lo!” ancamnya sambil menunjukkan mimik muka gelap. Kelas diam tanpa suara ketika guru menjelaskan, karena ancaman tadi Wahyu tidak berani membuka mulut sedikitpun walau waktu ditanya guru untuk menjawab soal fisika. 

Pukul 3 sore hari, matahari sudah di ufuk barat, tetapi masih agak ke tengah. Tidak sepanas siang hari, hanya silau saja seperti biasa. Dia melihat cewek itu lagi sedang membaca buku yang sama seperti di kantin. Ketika hendak ingin menghampiri, datang sosok laki-laki, sekitar SMA dengan seragam abu-biru datang kearah Naura dengan senyum kecil. Nara tertawa puas dengannya.
Pacar? Kok bisa ada yang mau sama si gesrek? Batinnya membising. Suara-suara kecil di hatinya melawan, mungkin kenalan atau saudara. Ucap kata hatinya. Si jantung membalas, kalau pacar gimana? Ya takdirnya dia jomblo lagi. 

Nara berbaring di kasurnya, tetap membuka buku merahnya, terbayang sosok Farel, si Kulkas berjalan rese’ sok ganteng padahal pendek. Dia 162, 2 cm nya dari sepatu. Gimana kaga ketawa coba? Kok ada cowok kutub kek dia bisa pinter. Dunia gak adil banget rasanya.
“Lain kali, bakal gue tendang kakinya sekalian jadi kurcaci.” umpatnya lalu tertawa. Baru kali ini, dia melihat seseorang yang dingin sepertinya. Kalau pun punya pacar, tuh pacar pasti bawa obor buat ngangetin diri. 

“kedua mata saling tatap, hati terbuka dan menghangatkan. Satu pandangan kebetulan, dua kali hanya takdir, tiga kali tatap adalah rasa.” filosofinya yang ditulis pada umur 10 tahun ketika melihat orangtuanya kala itu saling menatap di meja makan. 

“Sayang, turun atuh, makan malam.” suara ayahnya terdengar dari bawah, sejak ditinggal ibu ayah mengambil peran ganda sebagai ayah dan ibu. Alasannya agar tidak kesepian dengan suasana rumah. Kakak sudah bekerja di pabrik Hp di kota Hujan. Jarang pulang tapi sering memberi uang. Yang dibutuhkan ayahnya sekarang bukanlah uang, tetapi kehadiran seseorang yang mencintainya apa adanya yang hari ini sudah mustahil ia lihat lagi. Mereka kangen dengan Caca, istri dan ibu mereka. Kata ayahnya, wajah Nara mirip dengan mediang ibunya. Dari senyumnya dan kesukaan menulis diary nya. Mungkin itulah satu-satunya cara ayah tetap bertahan denganku. Karena mirip dengan ibu, bukan dipandang sebagai anak, melainkan dipandang sebagai sosok yang sudah meinggal bertahun lamanya yang tak akan terlahir kembali ke dunia walau nyawa imbalannya. 
“Kalau mau curhat, curhat aja Ra, kamu tau kan ayah bisa jaga rahasia?” ucapan lembutnya membuat Nara hampir tergiur, genggaman ayahnya yang menenangkan hampir membuatnya buta. Dia sudah berjanji akan menjaga privasi dan tidak berbicara hal-hal pribadi dengan orang lain. Walau dengan ayahnya sekalipun.

“cuma kepikiran sama kakak aja, kapan pulang? Kapan dapat uang jajan, dan hal-hal remeh lain yah.” balasnya lembut sambil mengelus pergelangan tangan yang sudah makin keriput di makan usia. Ayahnya berusia 45 tahun tetapi masih seperti usia empatpuluh lima tahun. Rambutnya yang sudah berubah putih tetap macho menurutnya. 
“Kamu tahu, Romeo rela melakukan apa saja demi mendapat cintanya juliet, sampai pernah suatu saat, juliet meminta hati Romeo. Saking bodohnya Romeo saat itu, ia mengambil sebilah pedang dan bersiap menghunjam dadanya. Juliet menghentikannya dan berkata, “Bukan hati itu yang kumaksud, tapi perlakukan aku sebagai seseorang yang biasa, jangan terlalu mencintaiku Romeo, cukup sayangi aku dan beri perhatian padaku maka aku tidak akan berpaling darimu.”

“Terus, apa hubungannya?” tanya Nara balik. Ayahnya tersenyum. “TIdak semua hal yang kita inginkan itu akan terpenuhi, kalimat adalah kumpulan kata yang mempunyai banyak arti Nar, kamu gak perlu tahu setiap artinya. Yang perlu kamu tau itu manfaatnya buat kamu itu apa? Paham kan.” Nara mengangguk, walau tidak tahu maksudnya, sepertinya ayahnya menyayangkan Nara yang suka di rumah daripada bergaul di luar rumah. “Kalau sudah, kamu cuci piring lalu tidur. Besok sekolah kan.” sambung ayahnya.
Selesai mencuci piring, ia naik ke kamarnya yang ada di lantai atas. Dia melamun ketika akan tersandung anak tangga, jempol kakinya yang tadi mulus tanpa luka, sekarang kukunya terlepas dan berdarah. Walau agak terasa perih, ia mencoba menghiraukan rasa itu dan masuk ke kamarnya dan langsung terlelap, kakinya ia naikkan dengan bersandar di tangga kasur kedua.

Nara, baru hari ini kedua kalinya terlambat karena alaram hapenya yang kurang keras, ini bukan salahku. Salah alaramku. Tipikal orang indonesia, menyalahkan sesuatu padahal sudah jelas salahnya sendiri. Ketika hendak melewati pagar, Pak Jon penjaga sekolah sekaligus tukang kebon sekolah melihat murid-murid yang melintas melalui gerbang. Ketika dia hendak masuk, pagar sudah akan ditutup. Hanya sekitar 10 cm dia bisa masuk dengan tepat waktu. Baru kali ini gue bersyukur kekurusan ku menyelamatkanku. Ucapnya kesal tapi senang. Ia tertatih-tatih ketika berjalan. Dia tidak menyangka kuku lepas bisa jadi bengkak kalau di biarkan. Di film-film romasa mungkin karakter cewek akan diobati oleh karakter cowok, sayang Nara tidak punya karakter cowok yang baik hati dan ramah senyum. Hanya si kulkas berjalan yang wajahnya bikin eneg. Pria kutub itu terlihat didepannya. Dengan teman sekelas perempuannya. Anna, cewek cantik dan tinggi 163 cm, walau hanya selisih satu cm dengan kutub, dia bisa mengambil alih spot karena wajahnya yang hampir mirip bule dan senyum manisnya yang bisa bikin hati para adam klepek-klepek dalam satu lirikan. Ketika mereka mengobrol, Farel rese’ menoleh kebelakang dan melihat Nara yang kaki kirinya terangkat dan berjalan selangkah demi selangkah. Siput aja menang dari dia. Ejeknya dalam hati. 
Ia berpamitan dengan Anna lalu berlari kecil kerahanya. Lohe, lohe, nih cowok satu ngapain dah ninggalin bidadari demi pembantu kayak gue? Batinnya tetiba berdetak tak karuan, matanya tak sanggup bertemu pandang. 
“kakimu kenapa? Kek orang cacat aje,” ucapna mendengus. Sumpah, nih cowok kagak ada sisi baiknya, turunan dajjal versi kulkas! Dah salah gue baper duluan. Kalau saja kakinya tidak sakit, dia bakal menendang titik tengah cowok ini sekarang juga dan menimpuk kepalanya dengan sepatu. Sabar. Orang sabar pacarnya Jimin. 
“Kuku lepas, tadi malam berdarah, gue kira kalau dibiarin nanti kering sendiri, eh malah bengkak.” balasnya bersungut-sungut.
Farel memindahkan tasnya ke depan, badannya jongkok di depan Nara dengan kedua tangan siap menopang kakinya. Tiga menit hening, Nara baru paham setelahnya, “Kesambet paan kak? Lo punya hutang ke bokap gue atau gimana?” katanya terbata-bata sambil memalingkan wajah yang dia yakini sudah hampir memerah karena malu, menjadi pusat perhatian. 
“Lo, kalau jalan kek siput begitu, bisa-bisa Bu Tania marah malah lu kena hukum beridiri di lapagan. Gue baik karena gue kakak kelas lo yang pernah dihukum sama beliau. Jangan baper, lo kan sering baca beginian.” 

Farel menggendong Nara dari lantai pertama sampai ketiga, menaruhnya di depan pintu kelas, dengan sandaran tembok sebagai pegangan. 
“Besok kalau dah sembuh, traktir bakso, lo kira tadi gratis? Limabelas ribu ye?” setelah berkata itu, Farel kembali ke kelasnya sambil menuruni tangga, menghiraukan suara-suara ricuh tentangnya. 
Kedua kelas mereka ribut mengenai kejadian tadi pagi, begitu istirahat Nara di datangi kelompok cewek-cewek beranggota 3 orang. Nancy, Putri, dan Nabila. Tiga cewek yang berani menembak Farel karena taruhan tahun lalu. Yang kini berujung jatuh cinta tak terbalas. Alasan mereka bertiga ketika melakukan dare itu, sikap Farel kepada ketiganya membuat mereka merasa nyaman dan baper. Dasar cewek, bukan berarti kami baik pada kalian itu berarti kami tertarik dengan kalian. Mereka melabrak Nara dengan beberapa pertanyaan, “Lo, jangan ganjen ke Farel ya? Udah sok cantik, jangan ke-pedean deh loh!” setelah itu mereka pergi ke kantin dengan jalan “cantik” yang Nara rasa “norak” mereka. Setelah kejadian itu, Nara merasa mood nya turun drastis. Terdengar ketukan di pintu kelas mereka, menoleh bebarengan, dan melihat si Kulkas berjalan masuk menghampiri Nara, “Lo mau makan apa? Gue beliin. Tapi ntar traktir mie ayam. Cepetan!” nara memalingkan wajah. Teman mereka seolah bisa telepati, “Bilang terserah, lo harus jual mahal Nar, ini Farel si kutub.” 
“Terserah lo,” farel mengangkat kedua tangan, menyerah.
“Lo tebak apa yang gue tulis di telapak tanganku, kalau lo bener, gue beliin.” sambil mengangkat kedua alisnya.
“hmm….. seblak mang ojang?” tukasnya cepat. Farel memproses lelet, semenit, tiga menit. “Oh, bener. Tumben lu pinter kalo masalah makanan.” dia mencari Wahyu di luar kelas lalu pergi.

“Seblak itu paan? Beli dimana? Mang ojang siapanya Nara? Pacar? Kakak?” racaunya mengguncang-guncang badan Wahyu. “oi, sabar gile, Mang ojang mah tukang seblak di komplek Nara. Ya kali si sedeng mau pacaran sama tukang seblak?” 
Kami berdua melompat pagar, ketika pak jon sedang sibuk menggendong anaknya di taman sekolah, untung pagar sekolah kami tidak terlalu tinggi. “Buset, komplek Nara, kan jauh bet 10 menit jalan kaki. Habis ini kita ada mapel sejarah Pak Dana, si gembong sekolah. Rumornya beliau mantan preman. Habis kita kalau gak masuk!” dia hendak meninggalkan Farel dan kembali ke sekolah, bahunya dicengkram, aura dibelakangnya menjadi dingin. “yang ngasih ide ini elu, dan lu mau kabur dari tanggungjawab?” 

Mereka berdua mencari kendaraan yang bisa digunakan, ketika Wahyu menyarankan meminjam motor Pak Maman tukang gorengan, Farel berkata, “gue emang anak orang kaya, tapi gue gak pernah naik motor.” setelah melihat kedua anak SD kelas enam memakai sepeda gunung, Farel menghentikan mereka dan bertanya tujuannya. Apakah melewati kompleks atau tidak. Ketika dijawab melewati, mereka memutuskan untuk naik sepeda dan menggonceng kedua adik itu. Ralat, cuma Farel yang sepakat. Wahyu ternyata punya trauma tak enak terhadap sepeda, akhirnya si adik lah yang harus menggoncengnya. Dasar beban. 

Kami mulai mengayuh sepeda dan berharap Pak Dana sembelit atau bahkan tidak masuk karena demam tinggi. Dasar, sudah beban doain orang lain kena musibah. Gue yakin nih bocah turunan setan. 

Posting Komentar